Matahari tergelincir di batas cakrawala, menghasilkan semburat warna jingga yang merona. Indah. Satu senja kita lewati bersama.
Aku masih duduk diam di hadapanmu, di hadapan meja kayu tua yang menjadi sekat antara kita. Di hadapan semangkuk kolak yang kau genggam erat. Di hadapan dua gelas es teh yang esnya mulai mencair.
Aku masih terdiam. Di balik batok kepalaku pikiran berlarian, saling silang, lalu lalang. Banyak hal; hidupku, hidupmu, tentang masa depanku, masa depanmu, tentang bahasa perasaan. Apakah hati kita mengucapkan bahasa perasaan yang sama? Entahlah. Pikiranku terlalu jauh berlari sampai ke sana.
Banyak tanya berkumandang, ketika aku diam-hikmat memperhatikan wajahmu yang sibuk mengandaikan isi kolak denganku.
Entah sudah berapa lama kamu berbicara, namun yang ku tahu sejak saat itu aku telah jatuh cinta padamu. Memandangi wajahmu memberikan ketenangan sendiri untukku, semacam candu.
Matahari telah benar-benar lenyap ketika jari telunjukku mengatupkan bibirmu dan mataku menelan bola matamu bulat-bulat.
Mendadak semua senyap. Waktu tertahan sesaat.
"psstt.. Biar ku habiskan dulu kolakku," ucapku memecah keheningan.
Aku sedang ingin bicara tentang kamu, tentang cinta dan juga tentang kolak.
Kamu, cinta dan kolak. Dalam bentuk penampilan, rasa, dan kenangan. Bagiku cinta hadir dalam beragam bentuk dan gaya.
Cinta ibarat semangkuk kolak. Di mana harus ada komposisi yang pas agar terasa nikmat.
Kamu dan aku harus berhenti di tempat yang tepat, agar rindunya habis terbeli.
Sekali lagi, kamu seperti kolak..
Selalu terhidang rapi di beranda pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar